Penulis: Rani Ramadhani PDMSINJAI.OR.ID - Di antara banyak nama dalam sejarah bangsa, satu nama perempuan selalu hadir dengan cahaya yang k...
Penulis: Rani Ramadhani
PDMSINJAI.OR.ID - Di antara banyak nama dalam sejarah bangsa, satu nama perempuan selalu hadir dengan cahaya yang khas dan setiap tanggal 21 April, Indonesia mengenang sosok Raden Ajeng Kartini. Bukan karena ia lahir dari darah bangsawan, tetapi karena dari ruang sunyi pingitan, ia mengirimkan cahaya kepada perempuan Indonesia melalui pena, gagasan, dan harapan.
Hari ini, lebih dari satu abad setelah kepergiannya, suara itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia menjelma menjadi gerakan, menjadi langkah, menjadi perjuangan perempuan masa kini. Dalam tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), suara Kartini itu kini diteruskan oleh mereka yang kita kenal sebagai Immawati.
Suara dari Masa Lalu yang Masih Bernyawa
Kartini bukan hanya simbol; dia adalah semangat yang melampaui zaman. Sebagai perempuan yang hidup di era penuh pembatasan, suaranya mengajak kita untuk merenung: “Sudahkah perempuan benar-benar merdeka hari ini?”
Melalui surat-suratnya yang dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini menantang norma yang mengekang perempuan. Ia memperjuangkan pendidikan dan kebebasan berpikir untuk perempuan, sesuatu yang pada masa itu dianggap tabu. Kartini menulis bukan untuk dikenang, tetapi untuk mendorong perubahan, agar perempuan tidak lagi terbelenggu oleh tradisi.
Hari ini, suara Kartini hidup dalam setiap langkah Immawati, perempuan muda yang tergabung dalam IMM. Mereka melanjutkan perjuangannya dengan berani melangkah dalam dunia akademis dan sosial. Immawati mengerti bahwa pendidikan adalah kunci perubahan dan mereka berjuang bukan hanya untuk diri mereka, tetapi juga untuk perempuan lain yang masih dibatasi.
Dari Pena ke Pergerakan: Kartini, Siti Walidah, dan Perempuan IMM yang Bergerak
Di tengah arus perubahan, Immawati hadir bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai penggerak. Mereka belajar, berpikir, dan bertindak. Menghadiri kajian, memimpin forum, menulis narasi perubahan, dan turun langsung menyentuh isu sosial. Dalam setiap langkahnya, ada keberanian untuk tidak hanya memperjuangkan diri sendiri, tapi juga perempuan lain yang masih tersekat batas dan ketimpangan.
Immawati adalah Kartini masa kini bukan yang terpingit, tapi yang berdiri di garis depan. Mereka bukan hanya suara, tapi juga cahaya. Mereka membuktikan bahwa semangat Kartini tidak mati, melainkan tumbuh dalam gerakan yang berakar kuat pada nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.
Di sisi lain, Immawati juga mewarisi nyala perjuangan Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) pendiri Aisyiyah, perempuan pelopor yang mengubah dakwah menjadi ruang yang juga milik perempuan. Ia tidak hanya berbicara tentang perubahan, ia menciptakannya.
Immawati hari ini adalah pertemuan dua arus besar: gagasan Kartini dan keteladanan Nyai Ahmad Dahlan. Dari pena yang ditulis di balik sekat pingitan, hingga langkah-langkah dakwah yang mengakar di tengah umat semuanya bermuara pada satu hal: perempuan harus berdaya dan bermakna. Di Hari Kartini ini, kita tidak hanya mengenang, kita menyaksikan semangat itu hidup dalam langkah para Immawati yang memilih untuk tumbuh, meski dalam senyap. Karena menjadi cahaya tak selalu butuh sorotan, cukup keberanian untuk terus menyala.
Perempuan, Cahaya Awal Peradaban
“Habis Gelap Terbitlah Terang“ bukan sekadar rangkaian kata indah dalam buku sejarah. Ia adalah denyut yang terus mengalir dalam nadi perjuangan perempuan masa dulu, kini, dan nanti. Dalam gelapnya ketimpangan dan sunyinya keadilan, perempuan selalu menjadi cahaya pertama yang menyibak gulita. Immawati hari ini adalah perwujudan nyata dari cahaya itu. Mereka bukan sekadar penerus jejak Kartini. Mereka adalah penjaga nyala terang yang tak boleh padam.
Lagu “Ibu Kita Kartini” bukan hanya melodi nostalgia yang dinyanyikan setiap bulan April. Ia adalah panggilan lintas zaman untuk memanggil para perempuan hari ini untuk terus harum, bukan karena dikenang, tetapi karena terus menyemai makna. “Putri Indonesia, harumlah namanya” bukan karena sejarah semata, melainkan karena semangatnya menghidupkan langkah, membuka ruang, dan menumbuhkan harapan.
Immawati hadir bukan hanya untuk merespons zaman, tapi untuk mencipta arah baru. Karena mereka tahu, bahwa peradaban sejati lahir dari perempuan. Dari rahimnya, dunia pertama kali mengenal kehidupan. Dari keteguhannya, nilai-nilai luhur tumbuh dan diwariskan. Dan, dari keberaniannya, perubahan menemukan jalannya. Menjadi Immawati berarti memilih untuk tidak diam. Memilih untuk tetap berdiri walau dunia kadang memaksa tunduk. Mereka adalah penjaga cahaya dalam senyap, penenun masa depan dalam diam, dan fondasi kokoh bagi lahirnya peradaban yang lebih adil dan setara.
Untukmu yang Terus Melangkah
Untukmu, setiap perempuan di mana pun berada, dari ruang mana pun berasal yang hatinya tak henti bergerak untuk kebaikan, yang hari ini masih memilih hadir di tengah lelah, di sela jadwal yang padat, di antara suara-suara yang kadang tak ramah. Ketika kamu duduk di ruang diskusi, menyusuri halaman demi halaman buku saat yang lain terlelap, berdiri memimpin forum, atau menuliskan gagasan perubahan yang mungkin belum tentu langsung dipahami, ketahuilah kamu sedang meneruskan warisan keberanian.
Kamu sedang menjaga nyala yang dulu pernah dinyalakan oleh seorang perempuan yang menulis dari balik tembok keterbatasan. Ya, nyala itu yang pernah tertulis pelan dalam surat Kartini, hari ini kamu bawa dalam langkahmu. Kamu adalah sambungan dari doa dan harapan yang ia titipkan pada masa depan. Dan kamu, adalah jawaban dari masa depan yang ia bayangkan.
Dengan menulis ini, ada haru yang sulit dijelaskan, Karena akan tahu, tak semua perjuangan disambut sorak sorai. Tak semua usaha mendapatkan pelukan atau pengakuan. Tapi percayalah, suara yang lahir dari kejujuran dan perjuangan tidak akan pernah sia-sia. Kartini pun dulu hanya punya pena dan kertas, namun suaranya kini abadi didengar, dikenang, dan terus menginspirasi.
Selamat Hari Kartini
Untuk setiap Immawati, dan untuk semua perempuan hebat di luar sana, teruslah menjadi suara yang hidup di tengah gelombang zaman. Suara yang tak hanya berbicara, tapi juga menggugah. Karena setiap langkahmu, sekecil apa pun, sedang perlahan mengubah arah ombak menuju dunia yang lebih adil dan setara.
Kehadiranmu, perjuanganmu, bahkan dalam diam sekalipun adalah bagian dari gerak besar yang mungkin tak selalu terlihat, tapi nyata. Dan, dalam setiap keputusanmu untuk tetap berjalan, kamu sedang menulis kisah tentang keberanian.
Seperti yang disampaikan salah satu di kajian Immawati yang saya hadiri, pemateri berpesan untuk “Beranilah bertumbuh, dan pastikan kamu berarti.” Kakanda Immawati Alam.
kutipan itu menggema dalam diri saya, bukan hanya sebagai nasihat, tetapi sebagai cermin dari perjuangan yang sering kali sunyi. Bukan sekadar ajakan motivatif, tetapi penegas identitas: bahwa menjadi perempuan, apalagi di ruang perjuangan seperti IMM, bukan tentang seberapa keras kita bersuara, tapi seberapa konsisten kita bertumbuh meski dalam diam, meski tanpa tepuk tangan. Sebab dunia ini butuh lebih dari sekadar suara lantang, ia butuh jiwa-jiwa tangguh yang siap tumbuh, bahkan dalam ketidakpastian. Jangan pernah meremehkan dirimu. Karena, kamu adalah bagian dari cahaya yang sedang membentuk arah baru peradaban.
Tidak ada komentar